AL KUDUS , AL KUDUS, DAN AL KUDUS
AL KUDUS ,
AL KUDUS, DAN AL KUDUS
Tersamar
dalam kabut di hari ke tujuh tak ada tanda-tanda akan segera menyudahi apa yang
sedang terjadi. Malam sebelum hari ke
enam dari hari yang telah ditentukan, ketika aku ingin menyelesaikan
beberapa hal perkara yang tak mampu aku
selesaikan sendiri. Jika hujan selalu tahu kapan ia menyudahi bersama udara dan
angin, bumi mengerti kapan memberi keleluasaan pada gerak tubuh makhluk yang
tumbuh dengan segala kecukupan waktunya, langit pun tidak putus berdoanya kepada
kesenangan tanpa syarat. Sedang aku tidak ada jaminan untuk menyudahi apa yang
belum kumulai.
Dini
hari pada waktu semakin menusuk pikiran, masuklah gambaran diluar pikiranku
untuk memulai, bahwa semua harus menjadi bumi atas kesabarannya, maka aku segera
melangkah tanpa ragu. Berbicara terus menerus, berisik disetiap sudut otak
menyudutkan pada kenyataan gerakku untuk bermimpi menyelesaikan perkara,
terjaga tepat cahaya timur mengalihkan semua percakapan tunggal ini.
Aku
datang ke pinggiran sungai dan duduk begitu saja, diam sesaat tak mau
memaksakan apa yang hendak kuperbuat. Sesekali melihat derasnya percik air di
sela-sela bebatuan membentuk air terjun. Tiba-tiba mataku mulai mencurigai
pikiranku sendiri apa yang baru saja terlintas. Ya! Kalimat “ Kami kisahkan kepada mereka sesuatuyang
(benar-benar) terjadi agar dapat menjadi bukti.” Kalimat berikutnya “ Namun, ada orang-orang yang selalu sangsi
dan senantiasa tak mau mengerti” dalam ulasan cerita Orang-orang dalam Gua
bab kedua buku AL KUDUS karya Asef Saeful Anwar. Sangat lekat apa yang sedang
kupikir barangkali memang kali ini cukup dengan membaca saja, kitab-kitab yang
tereferensikan pun tidak jadi aku baca. Apa yang aku lihat tentang dua cabang anak
sungai dari utara dan selatan dan di setiap perciknya air memaknai dari ulasan
dan menjadi bagian episode tafsir dari
ungkapan sabda dua kalimat diatas.
Bahwa
yang terungkap dan tercipta nama -nama
dari semua riwayat di Al Kudus ini adalah kitab. Kitab yang mana? adalah
kitab yang telah tertafsir. Tertafsir seperti apa? Ya, tertafsir seperti apa
yang Asef Saeful Anwar menuliskan riwayat waktu dalam perjalanan hidupnya
ketika mengasup makna. Makna yang bagaimana? Adalah makna yang sedang terjadi agar
memiliki nilai pesan lebih dan tidak jauh dari kesepakatan pikiran yang
diciptakan penulis dengan pilihan logika dalam hidupnya.
“Ladang dan Biji” menjadi peristiwa
kebaikan yang menuju pada satu garis utuh, apa yang terdengar, apa yang
terlihat dan apa yang terukur oleh rasa. Menjadi muatan satu energi yang berat
sebagai embrio dari semua peristiwa sebelum dan tercipta keabadian dikemudian
hari.
Kitab
Al Kudus adalah perjalanan air yang menjadikan dirinya menjadi apa saja agar
semua memiliki dan menjadi bagian dari celah agar semua terisi dan selalu mengalir
ke bawah tanpa ada batas kesengajaan manusia. Pada pikiran Asef Saeful Anwar menjauh
dari semua logika yang terjadi pada manusia saat ini, dan apa yang di tulis
dalam riwayat dalam sebuah “Kehidupan
Kekal”. Mengungkapkan keterbatasan sisi cerita atau peristiwa perjalanan
seseorang dalam meneukan kehidupannya di alam raya ini. Terangkum dalam satu
keinginan manusia , adanya jawaban sebab dan akibat, kehidupan yang simetris,
asimetris, bahkan tak ada kaidah dalam rumusan hidup. Penulis masih tetap melibatkan
diri pada posisi rangkaian ayat dalam kitab Al Kudus sebagai manusia berakal.
Di
tumbuhkan rasa itu dalam sebuah episode “Permulaan”
bisa terilustrasikan melaui kesamaan
kitab -kitab asli di ungkapkan betapa sangat menggerakkan hati, terwujud ilustrasi
cerita itu masih tercukupi di masa sekarang. Hal ini didasari bahwa aku adalah
pembaca dimasa sekarang. Maka aku akan menggunakan perasaan ini mengingat atau
mengenal peristiwa sebelum terjadi apa-apa dialam ni. Maka tidaklah sanggup
mersakan kesedihan Waha menghadapi Dama, untukmemilih hidup sendiri-sendiri
sedangkan didunia ini tidak ada pilihan kecuali hanya mereka berdua saja yang
menjadi penghuninya dengan diciptakan disekelilingnya makhluk yang melengkapi
kebutuhan mereka.
Lebih
kepada penyempurnaan hidup bertahap. Namun apa yang kupahami di Al Kudus ini
bahwa Asef Saeful Anwar meyakini tentang tafsir logika yang mengungkap rasa
dengan kalimat yang tak terbatas, juga tidak tertakar. Sebab awal kehidupanpun
dalam sejarah Kitab, ada tahapan. Nilai-nilai kasih dan keseimbangan hati
diwujudkan dalam akal nurani yang baru saja dimulai bahtera kehidupan Dama dan
Waha.
Peran
penulis dalam merumuskan novel ini, apa
yang ada dipikiranku terlihat mencoba
untuk melibatkan setiap sabda yang tercipta, sebenrnya sadar akan keberadaan
dirinya, tidak terlepas dari kehidupan sekarang, bahwa permulaan sebuah
perjalanan membuka dunia baru . baru diriwayatkan layaknya seperti tafsir,
sedang kata sabda itu sendiri mempunyai peran tersendiri dalam kitab-kitab sebelumnya.
Maka dari semua perkiraan tentang acuan kitab bisa jadi saling berperan
diantara kitan satu dengan kitab lain. Terlebih ilustrasi yang terbalut dalam
cerita menjadi kitab yang tidak ada akar persoalan. Membaca keseluruhan Novel
kitab Al Kudus, maka akan menginginkan
sebuah wujud yang utuh kitab itu. Jika aku merasa ingin membaca kitab Al Kudus, layaknya
seperti memilih kucing dalam karung, sedang keutuhan dari sebuah novel aku
dapat menerima sebagai capaian yang menggerakkan hati.
Tersebutkan
dalam “Manat dan Lanat”
Manat
dan Lanat, Dawa dan Waha menjadi awalan perbedaan dari semua pemikiran dari
semua cerita selanjutnya. Jika Dawa adalah Waha pagar terluar Batasan logika,
sedang Manat dan Lanat menjadi bagian dari arsiran penciptaan penulis dalam
memaknai diksi yang tidak beraturan, dari pandangan inilah tfsir terwujud dalam
kebiasaan manusia di kehidupan sekarang, penuh dengan bentuk kotak , lingkaran
dan segitiga. Rumus hidup seperti itulah dalam konteks membaca.
Al
Kudus : Al Kudus, Alkudus, Alkudus
Judul:
Alkudus
Penulis : Asef Saeful Anwar
Penerbit
: Basa basi
Cetakan:
I, April 2007
Tebal : 268 hlm
ISBN :
978-602-61160-0-0
Reviwer:
Isnain Deneash
Komentar
Posting Komentar